Impian Adidaya Dewi Malam

Devi Ariana , gadis cantik yang cerdas, ceria dan sedikit pendiam namun punya sejuta mimpi, salah satu impiannnya yaitu kuliah ke luar negeri di Harvard University dan menjadi seorang dokter ternama di Indonesia. Demi impiannya ini, Nana panggilan akrabnya mati-matian belajar, ia ingin mendapatkan beasiswa untuk kuliah di sana. “Akan kugempur habis kemampuanku, agar kesempatan itu tidak lepas dari tanganku” bisiknya dalam hati.
Beberapa hari yang lalu Nana telah melewati ujian untuk mendapat beasiswa, namun hasilnya baru akan keluar sebulan lagi, tepat dua minggu sebelum hasil UN di umumkan . Nana sangat berharap bisa mendapatkan beasiswa itu.
. . .
Selang beberapa hari tibalah minggu tenang yang bisa dimanfaatkan para siswa untuk menghadapi ujian nasional. Hari semacam ini adalah kesempatan siswa kelas III untuk libur sekolah dan belajar dirumahnya masing-masing. Nana memanfaatkan kesempatan ini dengan belajar dan berdo’a , memohon pada Illahi Rabbi agar diberi kemudahan dalam pertempuran nanti.
. . .
Entah mengapa hari ini langit begitu mendung, matahari sama sekali tak menampakkan sinarnya. Awan hitam bertengger di atas langit dari pagi hingga petang. Nana duduk di teras sambil membaca buku, tapi sepertinya ia tengah melamun.
“Kapan hasil UN-mu keluar, Na?” tanya bu Har sambil mengelus rambut putrinya.
“Aah…ibu mengagetkan Nana saja. Masih dua minggu lagi bu…” jawab Nana seraya memeluk ibunya. Nana dan bu Har larut dalam suasana sore yang hangat.
. . .
“Nana akan ke Cambridge bu…” dengan penuh semangat Nana mengumumkan hasil tes beasiswanya. “Baru saja Kepala sekolah memberitahu Nana”, lanjut Nana sumringah.
“Alhamdulillah, selamat ya, nak. Ibu bangga sekali sama kamu. Sekarang tinggal menunggu hasil UN-mu. Semoga hasilnya bagus ya nak” ucap bu Har hangat.
“Ya, semoga kakak bisa mendapat nilai tertinggi dan menjadi juara umum ya, kak.” celetuk Zera riang.
“Amiin.” Sambil mengelus rambut adik semata wayangnya. “Nana mau memberikan kejutan kalau ayah pulang nanti. Ayah pasti senang mendengar berita bahagia ini.” ucap Nana dengan senyum penuh harap.

. . .
Malam mulai menampakkan wajahnya. Sesekali terlihat kilatan cahaya petir menyambar. Angin malam merayu dengan lembutnya. Nana dan ibunya menunggu pak Andi pulang. Tak sabar ia berbagi kebahagiaan dengan ayahnya, orang yang membiayai hidupnya dan keluarganya. Tapi, tiba-tiba mereka dikagetkan oleh kedatangan dua orang Polisi ke rumahnya. Ke-dua polisi itu menyampaikan sebuah kabar yang menghancurkan dunia mereka. Polisi itu menyampaikan “Pak Andi, mengalami kecelakaan dan sekarang ada di rumah sakit. Tapi ibu harus sabar, karena Pak Andi tidak bisa diselamatkan. Dia meninggal. Dan kami akan segera menyelidiki kasus ini,” jelasnya.
“Ayaaah…tidaaak” Nana histeris dan menangis sejadi-jadinya. Ibunya menangis dan hampir saja pingsan. Kedua polisi tadi berusaha menenangkan mereka. Kemudian bu Har bergegas ke rumah sakit bersama kedua polisi tadi.
. . .
Malam semakin pekat, petir sesekali menyambar. Tak lama bulir- bulir hujanpun turun, seakan langit ikut menangis bersama Nana. Beberapa saat kemudian bu Har kembali dengan ambulan bersama separuh jiwanya yang telah pergi. Nana tak kuasa menahan luapan air matanya ketika melihat tubuh kaku laki- laki yang sangat ia hargai itu. “Ayah… mengapa ayah pergi secepat ini? Lihatlah Nana berhasil dulu! Nana akan ke Cambridge, Yah! Nana akan jadi dokter ternama, Nana akan buat ayah bangga! Ayah bangun, yah…bangun….” Nana berteriak di samping jenazah ayahnya. Hatinya kini hancur. Harapan indahnya kini lenyap bak disapu banjir. “Sabar, nak, sabar. Ikhlaskan semua, biarkan ayah pergi dengan tenang.” Lirih bu Har perih sambil memeluk kedua putrinya. Nana dan adiknya hanya bisa menangis dalam dekapan ibunya.
. . .
Keesokan harinya jenazah Pak Andi baru dikebumikan. Bu Har terlihat tegar meskipun raut wajahnya masih menyisakan duka yang mendalam, matanya masih sembab karena tangis semalam. Nana hanya mematung di depan makam ayahnya, sesekali air matanya menetes namun terasa perih karena kristal-kristal bening itu hampir kering seakan telah habis terkuras. Nana memang sangat terpukul atas kepergian ayahnya.
. . .
Hasil UN sudah diumumkan, Devi ariana juara umum SMA Tunas Bangsa dan mendapat beasiswa kuliah di Harvard University. Namun raut wajah Nana tak menunjukkan kegembiraan, bagi Nana semua ini tidaklah penting lagi. Ia rasa semua usahanya selama ini sia-sia karena dia tidak akan terbang ke Cambridge. Nana teringat ucapan ibunya kemarin malam, “Nak, sepertinya mimpimu untuk kuliah ke Cambridge tidak dapat ibu wujudkan. Sekarang keadaan kita sudah berbeda. Ayahmu sudah tidak ada. Ibu minta maaf, nak. Ibu tak sanggup membiayaimu jika kuliah di luar negeri. Maafkan ibu nak. Alangkah lebih baik jika kamu kuliah di sini saja”, Mata Nana berkaca-kaca, bibirnya bergetar, perasaan kecewa tertancap dalam di lubuk hatinya. Ia tak sanggup menerima kenyataan pahit itu. Tapi, cepat-cepat ia sembunyikan perasaannya. Nana tak ingin menambah beban ibunya. Walau terasa berat ia berusaha untuk tetap tersenyum. Semua mimpi-mimpinya terpaksa ia kubur dalam-dalam. Kuliah di Cambridge dan menjadi seorang dokter ternama hanya tinggal impian.
. . .
Sejak Pak Andi meninggal, keadaan keluarga Nana memang semakin sulit. Ditambah lagi ibunya yang sering sakit-sakitan dan adiknya yang akan segera masuk SMP. Empat semester telah berlalu, sekarang Nana memang sedang kuliah di salah satu universitas terkenal di kotanya. Namun, karena keadaan keluarga yang seperti itu, Nana memutuskan untuk berhenti kuliah. Dengan berat hati Nana mengambil keputusan untuk berhenti dari kuliahnya dan ingin mencari pekerjaan. Kali ini impiannya benar-benar harus dikubur. Hatinya sangat sakit seperti terhunus pedang, tapi inilah hidup dan takdir, manusia hanya bisa berharap, berdo’a dan berusaha.
. . .
Langit begitu pekat, tak ada satu pun bintang yang menghiasi. Sang dewi malam sepertinya enggan menampakkan diri. Malam ini terasa sangat sunyi, hanya sesekali terdengar suara hewan malam berdendang, seakan ikut larut dalam dinginnya malam yang menusuk tulang. Dentingan jarum jam yang bergerak perlahan, tak pernah bosan menggerakkan waktu dari detik demi detik menuju menit, menitpun berganti jam, begitulah rotasinya. Sudah sepertiga malam waktu berlalu, Nana terjaga dari tidur nyenyaknya. Ia segera bangkit dan berjalan menuju kamar mandi, lalu berwudhu dalam heningnya malam. Nana selalu terjaga di sepertiga malam. Ia bertahajjud mengadu pada Illahi Rabbi. Kadang ia bercerita tentang kejadian-kejadian yang dialaminya dengan senyum kebahagiaan tapi sering kali ia tertegun dihadapan-Nya.
. . .
Malam telah berlalu dan berganti pagi yang cerah. Secerah senyuman bu Har, wanita separoh baya yang sangat dihormati dan disayangi Nana. “Nak, ayo sarapan, ibu sudah masak makanan kesukaanmu.” Suara bu Har mengalun lembut ke kamar Nana.
“Ya, bu, sebentar…” Nana bergegas dan berjalan menuju dapur.
Enam tahun sudah ayahnya meninggal dan Nana telah menjelma menjadi gadis yang dewasa, santun, bertanggung jawab dan penyayang. Saat ini Nana bekerja di salah satu perusahaan terkenal di kota kelahirannya dan keadaan keluarganyapun mulai membaik. Namun di lubuk hati terdalamnya masih ada kekecewaan yang tak bisa dihilangkan. Walaupun impiannya untuk kuliah di Harvard University dan menjadi seorang dokter ternama tak dapat ia wujudkan, tapi melihat kebahagian kecil yang ia hadirkan dalam keluarganya membuat lukanya lambat laun dapat terobati.
Dalam hati kecilnya Nana masih berharap suatu saat nanti bisa tetap pergi ke Cambridge walaupun bukan untuk menimba ilmu. Karena Nana sudah menyadari bahwa ilmu tidak hanya didapat dari bangku sekolah, akan tetapi juga didapat dari kehidupan. Dan pelajaran yang paling berharga adalah pengalaman.
“Kak, tunggu aku…” teriakan itu menghentikan langkah gadis cantik berwajah oval dan berhidung mancung yang berjalan dengan tergesa-gesa itu. Jilbabnya yang panjang melambai dalam belaian angin. Ia menoleh ke sumber suara. Seketika ia tersenyum melihat adik semata wayangnya berlari. Senyum tulus yang menenangkan hati setiap orang. Kemudian mereka berlalu, berjalan bergandengan di bawah sinar sang surya yang cerah, memulai hari dengan penuh semangat.
 
 
Previous
Next Post »

Pengunjung yang terhormat, untuk memperbaiki konten dan isi blog ini, kami mohon saran dan masukannya, jika ada yang kurang silahkan meninggalkan komentar di sini, Terimakasih atas kunjungan Anda. ConversionConversion EmoticonEmoticon